Seperti pagi-pagi biasa yang lain, pagi ini pun saya masih berdiri memegang satu handle di tangan kiri saya dalam commuter bus "kebanggaan" jakarta, Transjakarta.
Mencoba membuka laman kompasiana sebagai sarapan otak pagi ini, mata saya terpaku pada salah satu judul yang begitu mengusik rasa haus membaca dalam jiwa ini. Sebuah tulisan dari seorang pemilik Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Yogyakarta yang bercerita mengenai bagaimana seorang wali murid yg menjadi PR (Public Relation) negatif tanpa berbayar bagi lembaga yang dipimpinnya.
Berikut link asli dari tulisan tersebut.
Dan inilah tulisan yg saya sadur sepenuhnya. Semoga memberi sarapan ilmu bagi siapa saja yg membacanya.
Dunia Kami adalah bermain, Ibu....
Beberapa minggu yang lalu, ada seorang Ibu mendaftarkan putranya untuk sekolah di Kelompok Bermain kami.
Rumahnya memang tidak jauh dari sekolah.
Dia banyak bertanya tentang proses pembelajaran di sekolah kami. Tentu dengan senang hati saya jawab dengan panjang dan rinci. Jarang orangtua sekarang yang punya perhatian terhadap kegiatan di sekolah. Biasanya mereka memasukkan anaknya ke sekolah yang terkenal, dan pasrah bongkokan begitu saja pada sekolahnya. Lalu disela-sela pembicaraan, dia bercerita bahwa dia bertemu seorang Ibu, sebut saja Z yang anaknya sudah keluar dari lembaga kami. Memang seingat saya anak tersebut cuma sekolah selama 6 bulan, lalu katanya akan pindah ke sekolah lain. Ya, bagi saya memang tidak jadi masalah, semua orang berhak untuk memilih sekolah yang disukai.
Saya memang tidak tahu alasannya pindah, kerena ibu tersebut tak pernah ke sekolah dan pamitan secara resmi.
Dan ternyata, si Ibu Z ini bercerita ke semua orang yang bertanya ke dia tentang sekolah kami, bahwa sekolah kami nggak bermutu, isinya cuma main melulu, nggak ada pelajarannya.
Dia dengan senang hati menjadi negatif
public relation kami, bahkan tanpa dibayar (ah!). Lepas dari alasan sebenarnya dia memindahkan anaknya
dari sekolah kami, dan melakukan black campaign terhadap sekolah kami, Ternyata memang banyak sekali
orangtua yang tidak tahu, bahwa masa usia dini adalah masa bermain. Melalui bermainlah anak-anak usia dini
belajar.
Bermain, adalah kata kunci di dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan anak usia dini. Apa sih sebenarnyanya bermain itu? Bermain adalah aktifitas spontan dimana seorang anak berinteraksi dengan orang lain, benda-benda di sekitarnya, dan dilakukan dengan senang hati atas inisiatif sendiri dengan menggunakan daya khayal(imaginatif) dan menggunakan seluruh anggota tubuh dan panca indranya.
Mengapa bermain? Mengapa anak-anak perlu bermain? Apa sih gunanya bermain? Kalau melihat anak-anak kita
bermain, terutama yang sudah agak besar, orang tua cenderung mengatakan,”Main terus sih, mbok belajar”
Bermain, masih sering diidentikkan dengan kegiatan yang tidak berguna dan membuang-buang waktu. Kegiatan
yang dipandang negatif oleh orang tua pada umumnya. Maka tidak heran jika timbul persepsi seperti Ibu Z di
atas. Bermain bagi anak-anak merupakan sarana untuk mengeluarkan energi (teori energi surplus). Bermain juga merupakan sarana untuk memulihkan energi setelah kegiatan fisik dan mental (teori rekreasi) .
Kata bermain mengandung sinonim untuk relaksasi, istirahat dari rutinitas dan menghilangkan kepenatan sehari-hari (Baer,1995).
Bermain, permainan sudahlah setua peradaban manusia. Dalam kebudayaan manapun, kita akan temukan banyak permainan. DI Jawa kita kenal banyak permainan tradisional, seperti gobag sodor, engkling, benthik, dakon dan banyak lagi yang lain.
Menurut Rubin, Fein dan Vandenberg bermain merupakan kegiatan yang memberikan keseimbangan berbagai aspek fungsi kepribadian. Smith mengatakan permainan memberi
kontribusi pada anak dalam belajar konsep dan aktivitas yang nyata. Sementara Vigotsky berpendapat bermain mempunyai peran langsung terhadap perkembangan kognisi seorang anak.
Masa usia dini, identik dengan masa bermain, pada masa ini anak belajar dan menyerap banyak hal melalui bermain. Bermain digunakan sebagai media bagi anak untuk menguatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Bermain yang melibatkan aktifitas fisik akan melibatkan gerakan-gerakan tubuh yang membuat tubuh anak sehat dan otot-otot tubuh menjadi kuat.
Bagi perkembangan aspek motorik halus dan kasar, bermain dibutuhkan untuk meningkatkan keseimbanga, kelenturan
dan koordinasi tubuh, baik tangan, kaki dan mata. Anak-anak yang sering melakukan aktifitas fisik akan jauh lebih
lincah, bugar dan memiliki keseimbangan yang baik dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menghabiskan waktu duduk di depan televisi atau komputer. Sangat disayangkan bahwa saat ini kesempatan
main anak-anak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jaman ketika saya kecil dulu. Anak-anak lebih jarang main
di luar, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan dengan televisi atau komputer. Tidak heran
banyak masalah yang muncul dengan perubahan pola main itu. Kegemukan, malas, lembam dan lebih jauh lagi,
kemampuan bersosialisasi dan kemampuan interpersonal menjadi sangat turun, tidak peduli dan tidak peka terhdap lingkungan sekitar. Anak-anak akan cenderung menjadi apatis dan selfish.
Bermain juga akan lebih meningkatkan kepekaan alat penginderaan, penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan dan perabaan. Bermain akan membuat anak lebih tanggap dan peka terhadap hal-hal di sekitarnya.
Bermain, permainan, mempunyai peranan yang sangat penting di dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi, bekerja sama dalam kelompok, memecahkan masalah, meningkatkan kemampuan memimpin dan meningkatkan jiwa sportivitas.
Dalam sebuah permainan dibutuhkan kreatifitas, kerjasama dan kemampuan berfantasi untuk menyelesaikan atau memenangkan sebuah permainan.
Pada masa mendatang, ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mulai memasuki usia kerja, kemampuan-kemampuan ini akan sangat dibutuhkan untuk mendukung kesuksesan mereka. di masa mendatang tenaga kerja akan dituntut memiliki kualifikasi-kualifikasi utama (kemampuan dalam komunikasi, kerjasama, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, kemandirian, tanggung jawab, pertahanan diri, kreatifitas serta kemampuan belajar) .
Karena itu, sangat penting bagi lembaga pendidikan anak usia dini untuk mengembangkan keragaman permainan
yang dirancang dengan cermat sesuai dengan kebutuhan anak dan mampu membangun sistematika kerja sama
dalam beraktifitas. Bermain harus menjadi kegiatan yang mengasyikan bagi anak, dan mampu meningkatkan
pengetahuan mereka.
Di dalam lembaga anak usia dini, bermain harus berdasarkan atas inisiatif anak, lebih mementingkan proses daripada tujuan, anak-anak berpartisipasi aktif baik fisik maupun psikis, anak bebas melakukannya dan bebas membuat aturan main sendiri
untuk mewujudkan fantasinya. Makna dan kesenangan bermain semua ditentukan oleh anak dan guru hanya
menjadi fasilitator (scaffolding). Guru/pendidik menyediakan berbagai kegiatan main dan anak-anak boleh memilih sendiri kegiatan main yang mereka sukai.
Dalam bermain, pendidik akan mengamati bagaimana anak bereaksi terhadap kegiatan main tersebut. Ada beberapa perilaku anak dalam bermain.
Ada anak yang menunjukkan perilaku tidak peduli dengan tidak mau terlibat dengan permainan tersebut. Sebagian lain ada yang menjadi penonton dan memperhatikan dan mengomentari, namun tidak mau terlibat, ini yang disebut dengan perilaku penonton. Sementara perilaku sosial sendiri atau perilaku main sendiri, anak hanya mau bermain sendiri dan mengatur diri sendiri. Perilaku sosial berdampingan berarti bahwa anak bermain sendiri namun dia senang dekat dengan anak lain. Perilaku selanjutnya adalah perilaku
main bersama, anak main dengan anak lain dalam satu kelompok , dapat bertukar alat main, namun tidak ada
tujuan yang direncanakan. Perilaku yang selanjutnya adalah perilaku kerja sama, anak dapat bermain dengan anak lain dan bermainnya memiliki tujuan yang
direncanakan. Anak mampu merencanakan dan berperan dalam permainannya.
Kegiatan main di lembaga anak usia dini dibagi menjadi 3, yaitu yang pertama main sensori motor, dimana permainan ini melibatkan penggunaan otot-otot besar dan kecil, serta menggunakan seluruh inderanya untuk melatih tubuh dan fungsi sensorimotornya , yang kedua adalah main peran. main peran disebut juga dengan main simbolik, role play, pura-pura, make believe, fantasi atau main drama. Anak-anak secara alamiah, suka sekali bermain peran . Tentu kita masih ingat bahwa ketika kecil kita suka sekali main pasaran. Bermain menjadi penjual dan pembeli, mengembangkan kemampuan berimajinasi.
Dan yang ketiga adalah main pembangunan, anak bermain dengan benda untuk mewujudkan ide/gagasan
yang dibangun dalam pikirannya menjadi suatu bentuk yang nyata. Saat anak mewujudkan pikiran mereka dalam
main pembangunan, mereka akan mengembangkan kecerdasan merefleksikan kembali (menampilkan) apa yang ada dipikiran mereka ke dalam bentuk yang nyata.
Bermain dan anak jelas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Melalui bermain anak-anak belajar, membangun konsep, menambah pengetahuan dan
wawasan, membangun kemampuan bersosialisasi, bekerja sama, kepemimpinan, kreatifitas. Melalui bermain, anak-anak membangun fondasi bagi ketrampilan dan
kompetensi yang akan mereka butuhkan di masa depan.
Karena itu menjadi kewajiban bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan anak usia dini untuk terus
mengembangkan keragaman main yang mampu memenuhi kebutuhan anak untuk mengembangkan kemampuan-
kemampuan tersebut. Dan sudah selayaknya tidak lagi persepsi dari orang tua bahwa sekolah di lembaga
pendidikan anak usia dini, seperti kelompok bermain dan
taman kanak-kanak, itu ’hanya bermain’.
Percayalah bahwa bermainnya anak-anak, adalah sebuah fondasi penting membangun untuk masa depan mereka.
Wikan Widyastari
Pemilik dan pengelola Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini.
Tinggal di Yogyakarta.
posted from Bloggeroid
No comments:
Post a Comment